Peran Santri dalam Ekonomi: Dari Lirboyo ke Dunia Digital
Peran Santri dalam Ekonomi: Dari Lirboyo ke Dunia Digital
Saya lahir tahun 2002 masa ketika warnet masih jadi tempat nongkrong paling keren di kampung. Saat itu, kata startup belum populer, tapi santri sudah terbiasa berdagang kecil-kecilan di sela ngaji dan hafalan. Sekarang, dua dekade kemudian, saya menyadari sesuatu yang menarik: semangat ekonomi umat ternyata tumbuh dari pondok-pondok, bukan hanya dari kampus bisnis.
Apa Itu Peran Santri dalam Ekonomi?
Peran santri dalam ekonomi bukan cuma soal berdagang atau membuka usaha. Tapi tentang bagaimana nilai-nilai pesantren diterjemahkan menjadi etika ekonomi modern.
Menurut studi tahun 2023 oleh Kementerian Agama, lebih dari 28% pesantren di Indonesia kini memiliki unit usaha produktif mulai dari koperasi, pertanian organik, hingga toko daring. Angka ini menunjukkan bahwa santri bukan hanya penerus ilmu agama, tapi juga penggerak ekonomi rakyat.
Kalau dulu “ekonomi santri” identik dengan warung kopi di depan asrama, sekarang bentuknya bisa beragam: marketplace produk halal, agrotech pesantren, sampai digital marketing syariah.
Mengapa Santri Punya Potensi Ekonomi yang Kuat?
Saya masih ingat waktu jadi santri di sebuah pondok di Jawa Barat. Kami diajari untuk mandiri secara finansial, bukan karena disuruh kaya, tapi supaya bisa hidup bermartabat. Juga memperkuat Ekonomi Indonesia
Kemandirian inilah yang kemudian menjadi DNA ekonomi santri.
Menurut riset dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (2022), nilai-nilai seperti amanah, kerja kolektif, dan zuhud aktif (berdunia tanpa diperbudak dunia) berpengaruh langsung terhadap motivasi kewirausahaan santri.
Santri terbiasa bekerja dalam sistem jamaah—semuanya dilakukan bersama, dari mencuci, memasak, hingga berdagang. Pola ini mirip dengan prinsip ekonomi gotong royong yang kini digaungkan dalam ekonomi digital berbasis komunitas.
Bagaimana Santri Berkontribusi pada Ekonomi Digital?
Dulu, saya menulis artikel ekonomi di warung kopi pesantren dengan koneksi Wi-Fi yang sering putus. Sekarang, santri punya studio konten, toko online, bahkan platform e-learning sendiri.
Perubahan ini tidak datang tiba-tiba. Ia muncul karena satu hal: keterbukaan santri terhadap teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.
Menurut data Kementerian Kominfo tahun 2024, ada lebih dari 3.500 pesantren di Indonesia yang sudah menjalankan digital entrepreneurship program. Program ini melatih santri untuk:
- mengelola toko online berbasis syariah,
- memproduksi konten dakwah digital,
- dan memahami literasi keuangan.
Sebagai contoh, Pesantren Sidogiri sudah lama memiliki koperasi berbasis digital dengan omzet miliaran per tahun. Artinya, model ekonomi pesantren bukan hanya bertahan—tapi beradaptasi dan berkembang.
Apa Nilai Unik Ekonomi Santri?
Jika kamu melihat ekonomi global hari ini, banyak yang berbicara tentang sustainability atau business ethics. Tapi pesantren sudah lebih dulu mengajarkan dua hal itu, jauh sebelum menjadi tren.
Dalam ekonomi santri:
- Keuntungan tidak lebih penting dari keberkahan.
- Pertumbuhan bisnis tidak boleh mengorbankan keadilan sosial.
- Transaksi harus berdasarkan kejujuran dan keadilan harga.
Nilai-nilai ini, menurut penelitian Lembaga Demografi UI (2023), adalah pondasi etika bisnis yang membuat model ekonomi pesantren tahan krisis.
Santri belajar ekonomi bukan dari buku teori saja, tapi dari kehidupan sehari-hari. Dari cara menakar beras untuk dapur pondok, dari adab berdagang di pasar sore, dari kejujuran dalam meminjam uang koperasi.
Tantangan dan Harapan Ekonomi Santri
Meski potensinya besar, santri masih menghadapi tantangan klasik: akses modal, literasi digital, dan branding produk.
Namun, justru di situlah peluangnya. Banyak investor sosial dan platform syariah kini mulai melirik pesantren sebagai ekosistem ekonomi yang berkelanjutan.
Bayangkan, jika setiap pesantren memiliki marketplace digital, ribuan produk lokal bisa naik kelas tanpa meninggalkan nilai keislaman. Santri menjadi aktor perubahan ekonomi, bukan sekadar pengamat.
FAQ
Q: Apakah semua santri bisa menjadi pengusaha?
Tidak harus. Tapi setiap santri bisa berperan dalam rantai ekonomi—baik sebagai produsen, kreator, penulis, atau pengelola dana umat.
Q: Apa bedanya ekonomi santri dan ekonomi konvensional?
Ekonomi santri menempatkan moralitas sebagai inti transaksi, bukan sekadar profit. Orientasinya bukan “siapa yang paling untung”, tapi “siapa yang paling bermanfaat”.
Kesimpulan: Dari Pesantren untuk Dunia
Saya lahir tahun 2002, tumbuh di era digital, dan besar di lingkungan pesantren. Saya belajar bahwa menjadi santri bukan berarti tertinggal dari dunia modern.
Justru dari pondoklah, saya memahami makna sejati ekonomi: bekerja keras tanpa kehilangan keikhlasan.
Sekarang, ketika saya menulis ini sebagai seorang blogger dan santri, saya ingin generasi baru tahu:
> Ekonomi tidak hanya milik mereka yang punya modal, tapi juga mereka yang punya nilai.
Dan santri sejak dulu punya keduanya.
Ingin tahu lebih dalam bagaimana pesantren bisa membangun ekosistem bisnis digital yang berdaya saing?
📖 Baca selengkapnya di Zona Ekonomi, ruang belajar ekonomi dengan nilai dan narasi.

Komentar
Posting Komentar