Mengapa Ekonomi Digital Bisa Memperlebar Jurang Sosial?
Ekonomi digital sering dipuji sebagai pendorong pertumbuhan, efisiensi, dan peluang baru. Namun, di balik kilau inovasinya, tersembunyi realitas yang tak bisa diabaikan: ekonomi digital dan ketimpangan kerap berjalan beriringan. Sebagai seorang santri yang juga bergelut di dunia SEO dan blogging, saya ingin mengajak kamu menelusuri secara kritis bagaimana transformasi digital yang kita rayakan ini menyimpan potensi memperlebar jurang sosial di tengah masyarakat.
Apa Itu Ekonomi Digital?
Ekonomi digital merujuk pada aktivitas ekonomi yang menggunakan teknologi digital sebagai penggerak utama, mulai dari e-commerce, aplikasi finansial, big data, hingga kecerdasan buatan. Menurut World Bank (2021), ekonomi digital dapat menyumbang lebih dari 15% dari PDB global. Indonesia sendiri menargetkan ekonomi digital menyumbang 18% terhadap PDB nasional pada 2030.
Namun, pertanyaannya bukan hanya seberapa besar kontribusinya, melainkan: siapa yang benar-benar mendapat manfaat darinya?
Ketimpangan dalam Akses dan Literasi Digital
Ketimpangan pertama hadir dari soal akses. Bayangkan, di saat sebagian besar masyarakat urban menikmati koneksi 5G dan transaksi cashless, di banyak pelosok negeri, sinyal pun masih jadi barang langka. Studi dari APJII tahun 2023 menyebutkan bahwa 33% penduduk Indonesia masih belum terjangkau internet yang memadai.
Belum lagi soal literasi digital. Anak-anak muda kota besar mungkin lihai bermain algoritma TikTok atau jualan di Shopee, tapi bagaimana dengan petani di kampung yang bahkan belum pernah menggunakan email?
Digitalisasi dan Konsentrasi Ekonomi
Transformasi digital juga berkontribusi terhadap konsentrasi ekonomi. Artinya, hanya segelintir pemain besar yang menguasai pangsa pasar. Lihat saja sektor ride-hailing atau e-commerce, sebagian besar traffic dan transaksi diserap oleh dua-tiga platform saja.
Menurut data e-Conomy SEA 2023 oleh Google dan Temasek, 70% nilai transaksi e-commerce Indonesia terkonsentrasi pada dua pemain besar. Ini memperkecil ruang gerak pelaku UMKM yang belum punya modal atau keahlian digital untuk bersaing.
Kesenjangan Pendapatan Akibat Automasi
Ekonomi digital juga mempercepat automasi. Teknologi menggantikan peran manusia dalam banyak lini pekerjaan, dari kasir, customer service, hingga analisis data. World Economic Forum memproyeksikan 85 juta pekerjaan akan tergantikan oleh mesin pada 2025.
Siapa yang paling terdampak? Pekerja berpendidikan rendah dan tidak memiliki skill digital. Sebaliknya, mereka yang ahli di bidang teknologi mendapat bayaran tinggi. Ketimpangan pendapatan pun semakin menganga.
Bias Algoritma dan Ketidakadilan Sosial
Jangan lupakan bahaya tersembunyi dari bias algoritma. Sistem pencarian kerja, peringkat seller, hingga sistem peminjaman online seringkali punya algoritma yang tak netral. Misalnya, pengguna dari wilayah dengan reputasi kredit buruk bisa otomatis mendapat skor rendah, walau individu tersebut tidak pernah bermasalah secara finansial.
Inilah bentuk baru diskriminasi—bukan dari manusia langsung, tapi dari mesin yang dibangun manusia dengan bias.
Infrastruktur Digital: Siapa yang Bangun, Siapa yang Nikmati?
Pembangunan infrastruktur digital kerap disambut meriah. Tapi jika ditelaah lebih dalam, seringkali pembangunan itu hanya dinikmati oleh wilayah-wilayah yang sudah maju. Fiber optik, jaringan satelit, hingga smart city lebih banyak mengalir ke kota-kota besar.
Sementara desa-desa, yang katanya bagian dari prioritas pembangunan, masih berjuang dengan sinyal 3G dan minim pelatihan literasi digital. Ketimpangan regional pun diperparah.
Monetisasi Data: Aset Siapa, Keuntungan Siapa?
Dalam ekonomi digital, data adalah minyak baru. Tapi mari kita jujur: siapa yang menguasai data? Siapa yang menikmati keuntungannya?
Pengguna dari berbagai kelas sosial menyumbang data setiap detik—mulai dari lokasi, preferensi belanja, hingga perilaku browsing. Namun, yang mengolah dan menjual data tersebut adalah korporasi besar. Keuntungan tidak mengalir ke rakyat sebagai pemilik data, melainkan terkonsentrasi pada segelintir elite digital.
Apakah Semua Ini Tak Bisa Diubah?
Sebagai santri dan warga digital, saya percaya Islam mengajarkan keadilan sosial. Maka, meskipun ekonomi digital menciptakan peluang luar biasa, kita tidak boleh buta terhadap dampak sistemiknya. Keadilan ekonomi dalam Islam bukan hanya soal zakat atau infak, tetapi juga tentang akses yang merata, distribusi yang adil, dan penggunaan teknologi yang beretika.
Solusi? Ada beberapa langkah konkret:
- 1. Pemerataan Infrastruktur Digital: Negara harus benar-benar memastikan bahwa desa dan kota punya akses yang setara.
- 2. Pelatihan Literasi Digital Berskala Nasional: Melibatkan pesantren, sekolah, dan komunitas lokal.
- 3. Regulasi Platform Digital: Mencegah monopoli dan memastikan data pribadi tidak disalahgunakan.
- 4. Pajak Digital untuk Redistribusi: Pajak dari raksasa digital bisa disalurkan untuk program sosial berbasis digital di desa-desa.
Penutup: Menjadi Bagian dari Solusi
Sebagai seorang santri yang hidup di era digital, saya menyadari bahwa keterlibatan kita bukan hanya sebagai pengguna pasif. Kita bisa menjadi penyeimbang, penyambung suara-suara yang terpinggirkan oleh algoritma.
Ekonomi digital dan ketimpangan bukan takdir. Tapi jika kita abai, maka jurang sosial akan semakin menganga. Maka tugas kita adalah menjadi agen perubahan—bukan hanya dalam konten yang kita buat, tapi juga dalam sistem yang kita dukung.
Zona Ekonomi | Ruang Edukasi Santri Digital
Ingin belajar lebih lanjut tentang ekonomi digital, ketimpangan, dan solusinya? Kunjungi Zona Ekonomi dan temukan artikel-artikel lain yang bisa membantumu memahami dunia ekonomi dari kacamata Islami.
FAQ
Q: Apa hubungan antara ekonomi digital dan ketimpangan sosial?
A: Ekonomi digital dapat memperbesar kesenjangan karena akses, literasi, dan peluang belum merata.
Q: Siapa yang paling terdampak oleh ketimpangan digital? A: Masyarakat di daerah terpencil, berpendidikan rendah, dan pelaku UMKM tanpa keahlian digital.
Q: Bagaimana solusi untuk mengatasi ketimpangan dalam ekonomi digital?
A: Dengan pemerataan infrastruktur, pelatihan literasi, regulasi platform digital, dan pajak redistribusi dari raksasa teknologi.
Komentar
Posting Komentar