Ads

Krisis Keuangan Asia 1997

 Krisis Keuangan Asia 1997: Bayangan Lama yang Masih Mengajariku Tentang Uang

Ilustrasi digital yang melankolis menggambarkan Krisis Keuangan Asia 1997. Seorang pria muda Indonesia (lahir tahun 2002) dengan pakaian sederhana duduk di bangku, membaca koran dengan berita utama yang pudar tentang krisis tersebut. Di latar belakang, grafik yang runtuh menimpa siluet kota tua Jakarta dan Bangkok, dengan gedung-gedung bank yang rusak, mata uang yang jatuh, dan koin yang pecah. Palet warna hangat dan sinematik menciptakan suasana reflektif dan penuh cerita.


Apa yang Saya Pikirkan Saat Pertama Kali Mendengar Tentang Krisis Ini?

Saya lahir tahun 2002—lima tahun setelah dunia Asia diguncang oleh badai yang disebut Krisis Keuangan Asia 1997.

Waktu kecil, saya nggak tahu apa itu inflasi, nilai tukar, atau IMF. Yang saya tahu cuma, “Zaman dulu katanya susah cari beras.”

Kalimat itu sering saya dengar dari orang tua dan guru. Tapi seiring saya tumbuh dan mulai paham dunia ekonomi, saya sadar: yang mereka maksud bukan cuma soal beras, tapi tentang rasa tidak pasti—tentang dunia yang bisa berubah hanya karena nilai uang jatuh.

Menurut data dari Bank Dunia, pada tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menembus Rp16.000 per dolar AS, padahal sebelumnya hanya sekitar Rp2.400.

Bayangkan, harga barang yang tadinya bisa dibeli dengan 24 ribu, tiba-tiba jadi 160 ribu.

Itu bukan sekadar angka—itu kepanikan.

Mengapa Krisis Keuangan Asia 1997 Terjadi?

Banyak orang menyebutnya sebagai “efek domino”, dimulai dari Thailand.

Negara itu saat itu menganut sistem nilai tukar tetap, tapi memiliki utang luar negeri besar dalam dolar. Ketika baht Thailand akhirnya dilepas ke pasar (devaluasi), investor panik dan mulai menarik dana mereka dari negara-negara Asia lain.

Menurut IMF (International Monetary Fund), penyebab utama krisis ini adalah ketidakseimbangan struktural dalam perekonomian Asia Timur: utang jangka pendek yang tinggi, lemahnya pengawasan keuangan, dan overconfidence terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sementara penelitian dari Harvard Kennedy School (2001) menambahkan, kejatuhan ini juga dipicu oleh psikologi pasar—saat satu negara jatuh, semua dianggap ikut goyah.

Saya membayangkan, kalau saya hidup di masa itu, mungkin saya akan melihat ayah saya—seorang pegawai biasa—gelisah tiap malam, menatap harga beras naik setiap minggu.

Mungkin ibu saya akan mulai menukar perhiasan emasnya dengan uang tunai, hanya untuk bertahan.

Dan mungkin, saya akan belajar lebih cepat bahwa uang bukan segalanya… tapi tanpa uang, banyak hal bisa berhenti begitu saja.

Pelajaran yang Saya Ambil Dua Dekade Kemudian

Sekarang, setelah 27 tahun berlalu, saya hidup di dunia yang katanya lebih stabil.

Tapi saya tahu satu hal: krisis itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berganti wajah.

Tahun 2020 kita diserang pandemi.

Tahun 2022 dunia menghadapi inflasi global.

Dan kalau kamu perhatikan, gejalanya sama: panic selling, pelemahan mata uang, harga kebutuhan naik.

Menurut Asian Development Bank (ADB), sekitar 60% ekonomi Asia kini terhubung secara finansial lebih erat dibanding tahun 1997—artinya, kalau satu negara goyah, efeknya lebih cepat menyebar.

Saya jadi sadar bahwa memahami sejarah bukan nostalgia; itu alat bertahan hidup.

Sebagai santri dan blogger, saya melihat krisis bukan hanya sebagai grafik ekonomi—tapi sebagai ujian mental dan moral.

Banyak orang kehilangan pekerjaan, tapi juga banyak yang menemukan makna baru tentang cukup.

Dan entah bagaimana, saya merasa krisis itu mengajari kita untuk lebih sederhana, lebih bijak, dan lebih siap.

 Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Krisis Keuangan Asia 1997?

1. Nilai tukar bisa jadi senjata dua sisi

Stabilitas mata uang penting, tapi fleksibilitas lebih penting.

IMF Report 1998

2. Utang luar negeri harus dijaga

Negara perlu membedakan antara utang produktif dan konsumtif.

World Bank Data

3. Transparansi keuangan menentukan kepercayaan investor

Negara yang memiliki laporan keuangan terbuka lebih cepat pulih.

OECD Economic Outlook

4. Krisis bisa jadi momentum reformasi

Setelah 1997, Indonesia mulai memperkuat perbankan dan tata kelola.

Bank Indonesia Annual Report 2000

 Dari Krisis Menuju Kesadaran

Saya sering berpikir: kalau saya lahir lima tahun lebih awal, mungkin saya akan menyaksikan sendiri orang-orang antre di bank, khawatir uang mereka lenyap semalam.

Tapi justru karena saya lahir setelah badai itu reda, saya merasa punya tanggung jawab untuk belajar dari sejarah.

Krisis Keuangan Asia 1997 bukan cuma peristiwa ekonomi—itu adalah cermin tentang bagaimana keserakahan, ketakutan, dan ketidaksiapan bisa menghancurkan sistem.

Namun juga, bagaimana keteguhan, solidaritas, dan reformasi bisa membangunnya kembali.

Dan mungkin, suatu hari nanti ketika anak-anak kita bertanya tentang “masa sulit,” kita bisa menjawab dengan tenang:

“Kami pernah belajar dari tahun 1997. Kami tahu cara bertahan.”

FAQ

Q: Apa dampak terbesar krisis keuangan Asia bagi Indonesia?

A: Dampak terbesar adalah runtuhnya banyak bank nasional dan melonjaknya inflasi hingga 77% pada tahun 1998, disertai dengan pergantian kepemimpinan nasional.

Q: Apa yang membedakan krisis 1997 dengan krisis global 2008?

A: Krisis 1997 berpusat di Asia dengan akar pada nilai tukar, sementara krisis 2008 bersumber dari sektor keuangan Amerika (subprime mortgage).

Q: Apakah Indonesia bisa mengalami krisis serupa lagi?

A: Bisa, jika utang luar negeri, defisit transaksi berjalan, dan ketergantungan impor meningkat tanpa pengawasan fiskal yang ketat.

Komentar

Popular posts